Kuning Genteng
Dulu, dulu
sekali aku mengenal warna ini dengan sebutan kuning genteng. Begitu pula dengan
yang sekawanan dengan warna tersebut semisal merah jambu untuk warna pink, biru
terong untuk warna ungu, dan biru donker untuk warna biru gelap. Kuning genteng
kutemui sebagai warna oranye. Setiap kali menggunakan pensil warna sewaktu
kanak-kanak dulu, begitulah aku menyebutnya. Entah siapa yang memulai
penyebutan seperti ini.
Aku suka
bertanya. Dulu aku pernah bertanya mengapa warna-warna tersebut dinamakan
seperti itu. Aku mencoba mencari tahu. Aku lantas membandingkan nama-nama tersebut. Misalnya dengan warna
jambu air di halaman rumah si Mbah jika sedang berbuah. Pernah juga
kubandingkan dengan warna terong yang Emak masak di dapur. Begitu pula dengan
warna salah satu baju Emak yang donker. Aku membandingkan warna benda-benda
tersebut dan mencoba mencari persamaannya dengan warna pensil warna yang
kugunakan untuk mewarnai gambar. Dan untuk warna kuning genteng, aku pernah
memperhatikan dengan sebaik-baiknya warna asli genteng rumah Pak De yang
letaknya memang tidak jauh dari rumah si Mbah. Aku menyimpan warna itu di
benakku sambil mengangguk setuju warna tersebut memang layak disebut kuning
genteng.
Baru-baru
ini ingatanku tentang warna kuning genteng sedikit bertambah. Benakku tidak
hanya menyimpan warna genteng rumah Pak De, melainkan dua warna kuning genteng
lainnya. Dan aku akan segera menceritakannya.
Kuning
genteng yang pertama berkaitan dengan rindu. Jupiter, kucing jantan itu tidak
lagi tampak berkeliaran di sekitaran rumah. Entah hanya aku atau sepertinya
keluargaku yang lainnya juga luput melihatnya. Apa kucing itu sudah mati? Jika
hidup, merantau kemanakah gerangan? Namun syukurlah, tidak seperti yang
kukhawatirkan, kucing itu masih hidup. Sewaktu pergi membeli gorengan bersama
Rani, aku melihatnya di teras rumah Uwak. Badannya tampak lebih kurus,
namun dia sehat. Wajahnya masih sama lugunya dengan yang tepatri di ingatanku.
Kali kedua,
ingatan kuning gentengku bertambah dengan sosok berseragam yang kulihat dengan
latar jalanan aspal yang tidak terlalu lebar. Kuning genteng yang ini berkaitan
dengan simpati. Dia adalah Pak Pos di atas sepeda motornya sedang mencari
alamat. Wajahnya tampak legam, kecil dan tua. Di kiri kanan motornya penuh
sesak dengan tumpukan surat atau mungkin barang pos yang siap diantar. Apa
yang akan kau rasakan saat melihat orang tua yang tampak ringkih namun masih
harus bekerja? Aku merasakan sesuatu di dalam rongga hatiku. Kata kasihan
sepertinya terlalu perih untuk diucapkan.
Lalu
bagaimana mengakhiri kisah ini? Dua ingatan yang sejatinya bergerak,
entah bagaimana bisa dibekukan oleh benakku yang kemudian seolah membingkainya ke dalam
lembaran foto. Kini bisa kulihat sosok diriku yang kecil tengah memegang
sebuah kotak sepatu dengan tutup di atasnya. Di tanganku yang lain ada
dua lembar foto kuning genteng yang masih baru tersebut. Aku buka kotaknya lalu kuletakkan kedua foto tadi ke
dalamnya. Aku membiarkan kedua foto baru tadi bergabung dengan
pendahulunya yaitu atap rumah Pak De. Itu tidak masalah karena mereka sama
dalam satu hal: kuning genteng. Perlahan kututup kembali kotak itu dan untuk
saat ini masih termenung dihadapannya.
Comments
Post a Comment