Dua Kisah tentang Rasa Syukur
Kisah
Pertama...
Saat itu
hati masih terbebani dengan kesedihan yang menyusup diam-diam. Berpikir dan
merasa seolah beban hidup maha besar sedang menimpa. Namun syukurlah, Tuhan
segera menyentuh hati ini dengan manis.
Di malam
itu, di pelataran sebuah toko, aku melihat seulas senyum bahkan lalu sebuah
tawa dari seorang yang berjalan tidak dengan kakinya. Seseorang yang kedua
tungkainya tidak mampu menopang tubuhnya secara sempurna. Dunia boleh jadi
terasa menghimpit. Namun dia memilih untuk mengusir mendung agar tidak
menggelayuti senyumannya.
Kisah
Kedua...
Siang
berlalu dengan panas matahari yang menyengat. Aku berjalan membawa beban di
tangan kanan, menyusuri kelokan pasar bersama Emak tersayang. Rasa haus dan
lapar membuahkan lelah. Namun masih ada satu tempat lagi yang harus dituju.
Tap, tap!
Aku
mendengar langkahnya. Bunyinya tidak biasa. Lebih berat dari tapak pantopel
yang memukul jalan. Aku melirik ke kanan. Tepat di sampingku, kulihat ada
sesuatu yang tidak biasa dengan tungkai kirinya. Tungkai itu tak berdaging, tak
berkulit, tak berbulu. Tungkai itu tungkai kayu. Diwarnai serupa mungkin dengan
warna tubuh manusia. Terpoles dan mengkilap di bawah sinar matahari.
Bapak tua
pemilik tungkai kayu itu berjalan selangkah demi selangkah. Ada sebuah tongkat
yang mungkin membantunya untuk menyeimbangkan tubuh. Itu pertama kalinya, di
depan mata, aku melihat seseorang berjalan dengan kaki kayu sepanjang lutut ke
bawah. Kutatap kedua kakiku yang masih berjalan seirama menyusuri kelokan
pasar. Bersama tiupan hangat matahari siang dan peluh yang mengucur, angin
berbisik kepadaku: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Comments
Post a Comment