Udang


Emak sudah sering memasak udang semenjak aku kecil. Masih kuingat suatu pagi sehabis pulang dari sekolah dasar, Emak memasak udang. Saat itu bau udang yang sedang digoreng dalam minyak panas di kuali tersebut sangat menyengat, membuat hidungku tidak nyaman. Aku pun memutuskan tidak menyukai dan tidak mau memakan udang karena baunya ketika dimasak terlalu "istimewa".

Syahdan, waktu pun berlalu. Suatu hari, Emak memasak udang kembali dan saat itu aku tidak di rumah atau di dapur untuk mencium baunya. Entahlah aku masih di sekolah atau sedang mengerjakan apa di luar rumah. Ketika pulang dan lapar, aku diminta memakan udang tersebut. Aku memutuskan untuk mencoba meski setengah hati. Aku berhasil memakannya, menghabiskannya.

Hingga suatu kali, Emak kembali memasak udang dan aku ada di rumah. Saat itu aku keheranan dan bertanya: Emak, kok ndak bau nian yo? (Emak, kok tidak terlalu bau, ya, udangnya?) Dengan jawaban Emak yang tidak perlu kutuliskan di sini, saat itu aku sadari sesuatu, aku suka dan mau makan udang.

Ternyata rasa suka membuat kita bisa menerima kekurangannya, ya.


Lalu sama halnya dengan memento lainnya yang kusimpan, ada satu gantungan kunci dengan mainan berbentuk udang plastik berwarna oranye kombinasi putih. Sudah lama sekali aku punya, mungkin sejak aku menyukai dan mau makan udang. Sekolah Menengah Pertama kurasa perubahan itu datang.

Aku menyimpannya pasti karena ada suatu alasan khusus. Tidak dapat kuingat pastinya apa, hanya saja sejak punya itu, aku dapat melihatnya hingga sekarang bersama tumpukan barang kenangan lainnya yang perlu kusortir. Bahkan hingga saat rantainya berkarat, aku pisahkan udang plastik itu. Aku masih menyimpannya dan segera kisahku tentang udang menyeruak.

Comments

Popular posts from this blog

Memento

Ruminating

Golden Moon